Senin, 29 Oktober 2012

Perempuan untuk Ibu


“Wulan...!! Wulan...!!”
“Aku di sini, Bu.”
“Mengapa bersembunyi?”
“Percuma. Tak akan ada yang memandangku, Bu.”
“Apa maksudmu?”
“Aku Wulan, bukan Bulan. Mereka tak pernah menyukaiku.”
“Tapi bukan berarti kamu harus bersembunyi seperti ini sayang.”
“Aku tahu. Tapi mereka tak pernah mengerti. Jadi, untuk apa aku peduli?”
“Wulan sayang, bersembunyi hanya akan membuat sinarmu semakin tak terlihat. Kamu lihat bulan di luar sana? Kamu lihat lilin itu? Di ruang gelap ini, lilin itulah yang menerangi kita, bukan bulan yang ada di luar sana. Artinya, di ruang gelap ini lilin itu lebih bermanfaat untuk kita ketimbang bulan yang ada di luar sana meskipun dia lebih terang. Begitu pun kamu sayang, ada saatnya orang lain lebih membutuhkanmu, ingin memandangmu, meskipun ada yang lain yang mungkin lebih baik di sisi mereka. Mereka yang mengerti dan tahu siapa kamu sebenarnya, pasti bisa menerima kamu apa adanya. Wulan paham kan maksud ibu?”
“Iya, Wulan paham.”
“Sudah paham kok masih cemberut begitu? Senyumnya mana? Yang ibu tahu, anak ibu ini orangnya periang.”
“Aaahh, Ibuu. Jangan digodain dulu. Kan ceritanya aku masih ngambek.”
“Hmm. Dasar kamu ya.”
“Hehehee. Wulan sayang Ibu,” ucapnya sambil memeluk sang ibu.
***
“Bu...!!”
“Iya, sayang. Anak ibu sudah pulang. Gimana sekolahnya hari ini?”
“Biasa aja. Temen rese, guru nyebelin, pelajaran membosankan, tugas ....”
“Dan kamu, kamu selalu seperti itu,” sela ibu.
“Ahh ibu. Memang kenyataannya gitu kok. Coba aja Ibu datang sendiri ke sekolahan.”
“Ngapain Ibu ke sekolahan? Ibu masih bisa bersabar nunggu anak kesayangan ibu pulang dengan semua keluhannya dan kecupan sayangnya,” ucapnya sambil menyiapkan makan siang.
“Buuu. Wulan serius. Ibu juga selalu kayak gitu. Omongan Wulan gak pernah dianggap. Ibu gak pernah dengerin Wulan,” balas Wulan dengan wajah masam.
Ibu hanya tersenyum mendengar ocehan anaknya yang manja. “Sudah. Jangan cemberut terus. Ganti baju sana. Ibu masak makanan kesukaan kamu hari ini.”
“Makanan kesukaan aku? Siap Mom. You’re the best deh,” seru Wulan setelah mencium pipi ibunya dan berlalu di balik pintu kamar.
“Ibu selalu tahu yang kumau. Mungkin,” bisiknya dalam hati.
***
            Pintu kamar yang sedikit terbuka memberi celah pada kesejukan yang dibawa udara masuk kedalamnya. Nampak jelas raut wajah lesu Wulan yang sedang duduk di kursi di sebelah tempat tidurnya, di belakang sebuah meja kayu dekat jendela yang berada sejajar dengan pintu kamarnya. Tubuhnya begitu kurus karena pekerjaannya menuntut Wulan untuk tidak tidur di malam hari. Hawa dingin sangat menusuk pagi itu. Tapi Wulan hanya mengenakan celana jeans selutut dan t-shirt gombroh kesayangannya yang berwarna hitam dengan bordiran tazmania kecil di bagian belakang bahu. Tak ada suara. Hanya semilir hembusan angin pagi yang mengisi kamar Wulan kala itu.
Jemari Wulan perlahan merangkak di atas meja kayu yang ada di hadapannya. Diraihnya selembar foto hitam putih berukuran 3x4 yang terselip di antara buku-buku yang tersusun rapi. Wulan bukan orang yang rajin memang. Tapi tak pernah sekali pun dia membiarkan ruang pribadinya berantakan apalagi saat waktu tidur menjelang.
Wulan tersenyum.
Diusapnya foto itu perlahan. Dipandangnya sosok dalam foto itu kemudian. Sosok yang begitu dikaguminya. Seseorang yang sangat dicintainya. Seseorang yang baginya turut andil dalam mengobrak-abrik hidupnya.
Sedang asyik memandang foto, Wulan dikagetkan dengan suara pintu yang diketuk dengan kasar dari luar. “Lagi,” gumamnya. Digenggamnya foto itu dan bergegas menuju pintu kamar.
***
             Hari itu matahari mulai meredup di balik gumpalan awan hitam yang telah membuatnya tertutup. Riuh ramai dedaunan terdengar begitu merdu seiring angin yang begitu hebatnya bertiup. Wulan bergegas masuk ke rumah dan melepas sepatu bututnya. Kamar adalah tempat pertama yang dikunjunginya setiap sepulang ke rumah sebelum kamar mandi dan meja makan. Bahkan kadang Wulan mengunci pintu kamarnya dan tak pernah lagi memunculkan batang hidungnya sampai malam dan pagi bergantian.
            Perlahan terdengar derai hujan meramaikan senja yang menggelap itu. Wulan mulai mengangkat tubuhnya yang sejak pulang tadi tergolek lemas di atas kasur. Kemudian berjalan ke arah jendela, menatap langit yang tak lagi biru. Hujan sore itu terasa begitu menyejukkan. Bulir-bulir airnya yang jatuh seakan turut menghanyutkannya dalam khayalan.
***
“Pelangi pelangi alangkah indahmu, merah kuning hijau di langit yang biru ....”
“Wulan...!!”
“Iya, Bu.” teriak Wulan dari halaman rumah.
“Cepat masuk! Hujannya makin deras, nanti kamu bisa sakit,” seru ibu yang berdiri di depan pintu sambil memandang anak kesayangannya.
“Tapi Wulan mau nunggu pelanginya keluar dulu,” jawab Wulan yang masih asyik dengan hujan dan nyanyiannya. Ibu hanya menatap Wulan, menunjukkan wajah marah tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Wulan tahu tatapan itu, tahu arti dari raut wajah itu. Ia berlari menghampiri ibunya lalu mengangkat kedua tangannya sambil tersenyum. Ibu menggendong Wulan ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya yang penuh lumpur karena bermain hujan.
Hingga waktu menjelang malam hujan tak kunjung reda. Di balik jendela kamar, Wulan asyik memandang rintik-rintik hujan sambil duduk di pangkuan ibunya.
“Bu.”
“Iya, sayang.”
“Kalau hujannya sampai malam begini, apa pelangi akan tetap muncul?”
Ibu tersenyum. “Tidak sayang. Pelangi hanya akan muncul kalau ada sinar matahari.”
“Tapi malam juga kan ada bulan, Bu.”
“Bulan itu temannya bintang, bukan pelangi, dan bukan matahari. Mereka muncul berpasangan, tapi pada waktunya. Ada kalanya bulan muncul tanpa bintang dan matahari tanpa pelangi. Tapi meraka tetap memancarkan sinarnya yang indah untuk mewarnai siang dan malam. Begitu pun kamu sayang.”
“Kok Wulan? Wulan gak ngerti.”
“Hidup kadang menempatkan kamu dalam kesendirian, tanpa ada teman, saudara, maupun keluarga. Termasuk... tanpa ibu. Kita tak selalu bersama dengan orang-orang yang kita sayang, yang biasa mendampingi kita. Terkadang kita dituntut untuk menghadapi segala sesuatunya sendiri. Seperti kamu sedang ujian di sekolah, tak ada guru, orang tua, atau pun teman yang bisa membantumu menyelesaikannya selain dirimu sendiri. Tapi dengan belajar, kamu punya bekal yang cukup untuk menyelesaikannya sendiri. Begitu pula kisah hidup kamu, cerita hidupmu, dan orang-orang yang turut mengisinya akan terus berganti seiring berjalannya waktu. Mereka tak bisa selalu menemanimu. Saat itulah kamu harus bisa menjalaninya sendiri, dan tetap bersinar meski tak ada mereka di sisimu.”
“Aduh, Wulan bingung,” gerutunya sambil menggaruk-garuk kepala.
Ibu tersenyum melihat anak semata wayangnya “suatu saat kamu akan mengerti sayang”.
***
            Wulan mengepalkan tangannya erat saat ketukan di pintu rumahnya terdengar makin keras. Bayangan tentang seseorang dalam foto itu buyar seketika. Wulan Panik. Wulan berencana melompat ke luar lewat jendela. Disambarnya jaket kulit yang tergantung di belakang pintu kamarnya. Belum sempat jaket itu dikenakannya, pintu kamar terbuka secara paksa dari luar. Wulan terperanjat. Mematung seperti orang yang baru disambar petir. Segerombolan orang berseragam lengkap dengan lencana berdiri dengan gagahnya di depan Wulan dan langsung menerkamnya bak hewan buas yang tengah kelaparan.
“Saudara Wijaya Uli Kusuma Lanang, Anda ditangkap atas kasus pembunuhan,” seru salah seorang pria berseragam yang menunjukkan selembar kertas tepat di depan muka Wulan.
Wulan tersenyum getir. Ditatapnya kembali sesosok manusia yang ada dalam foto yang digenggamnya. Seorang perempuan anggun yang tersenyum ramah dengan aura keibuan yang begitu bersahaja. Perempuan yang telah melahirkan dan membesarkan Wulan. Perempuan yang selama ini selalu menjadi bayang-bayang hitam putih dalam hidup Wulan. Perempuan yang menjadikan Wulan hidup dalam dunia yang baginya jauh dari kewajaran. Perempuan yang bagi Wulan karena dialah hidupnya berantakan. Ibunya. Orang yang paling dicintainya, yang tak pernah bisa menerima Wulan sebagai dirinya.
 Nafasnya terasa berat kali ini. Tak pernah terbayang dalam benaknya harus menghabiskan sisa hidupnya dalam kesendirian di ruang gelap dan sunyi. Tapi beban berat yang selama ini menggelayutinya seakan luruh bersama terungkapnya semua yang selama ini tertutupi. Semua telah berakhir. Tak perlu lagi bersembunyi sebagai Wulan. Tak ada lagi yang perlu disembunyikan dari Wulan. Tak ada lagi hinaan pada Wulan. Tidak juga cemoohan terhadap Wulan. Tak perlu lagi bersusah payah berdandan cantik untuk menarik pelanggan di pinggir jalan sebagai Wulan. Tak perlu lagi mati-matian menunjukkan sikap jantan untuk merebut hati sang pujaan dari orang yang sebenarnya bukan Wulan.
“Inilah aku. Anak lelakimu, Wijaya Uli Kusuma Lanang, yang sejak kecil kau panggil Wulan. Inilah aku. Pria yang merenggut nyawamu demi harga diri yang kau jatuhkan. Andai dulu tak kau perlakukan aku seperti wanita, mungkin takkan pernah aku jadi waria. Andai kau bisa memandangku sebagai anak lelakimu, mungkin kau bisa jadi seorang nenek yang kelak akan menggendong anak-anakku.”


Oktober 2012

2 komentar: