“Wulan...!! Wulan...!!”
“Aku di sini, Bu.”
“Mengapa bersembunyi?”
“Percuma. Tak akan ada
yang memandangku, Bu.”
“Apa maksudmu?”
“Aku Wulan, bukan Bulan.
Mereka tak pernah menyukaiku.”
“Tapi bukan berarti
kamu harus bersembunyi seperti ini sayang.”
“Aku tahu. Tapi mereka
tak pernah mengerti. Jadi, untuk apa aku peduli?”
“Wulan sayang,
bersembunyi hanya akan membuat sinarmu semakin tak terlihat. Kamu lihat bulan
di luar sana? Kamu lihat lilin itu? Di ruang gelap ini, lilin itulah yang
menerangi kita, bukan bulan yang ada di luar sana. Artinya, di ruang gelap ini
lilin itu lebih bermanfaat untuk kita ketimbang bulan yang ada di luar sana
meskipun dia lebih terang. Begitu pun kamu sayang, ada saatnya orang lain lebih
membutuhkanmu, ingin memandangmu, meskipun ada yang lain yang mungkin lebih
baik di sisi mereka. Mereka yang mengerti dan tahu siapa kamu sebenarnya, pasti
bisa menerima kamu apa adanya. Wulan paham kan maksud ibu?”
“Iya, Wulan paham.”
“Sudah paham kok masih
cemberut begitu? Senyumnya mana? Yang ibu tahu, anak ibu ini orangnya periang.”
“Aaahh, Ibuu. Jangan
digodain dulu. Kan ceritanya aku masih ngambek.”
“Hmm. Dasar kamu ya.”
“Hehehee. Wulan sayang
Ibu,” ucapnya sambil memeluk sang ibu.
***
“Bu...!!”
“Iya, sayang. Anak ibu
sudah pulang. Gimana sekolahnya hari ini?”
“Biasa aja. Temen rese,
guru nyebelin, pelajaran membosankan, tugas ....”
“Dan kamu, kamu selalu
seperti itu,” sela ibu.
“Ahh ibu. Memang
kenyataannya gitu kok. Coba aja Ibu datang sendiri ke sekolahan.”
“Ngapain Ibu ke
sekolahan? Ibu masih bisa bersabar nunggu anak kesayangan ibu pulang dengan
semua keluhannya dan kecupan sayangnya,” ucapnya sambil menyiapkan makan siang.
“Buuu. Wulan serius.
Ibu juga selalu kayak gitu. Omongan Wulan gak pernah dianggap. Ibu gak pernah
dengerin Wulan,” balas Wulan dengan wajah masam.
Ibu
hanya tersenyum mendengar ocehan anaknya yang manja. “Sudah. Jangan cemberut
terus. Ganti baju sana. Ibu masak makanan kesukaan kamu hari ini.”
“Makanan kesukaan aku? Siap
Mom. You’re the best deh,” seru Wulan setelah mencium pipi ibunya dan berlalu
di balik pintu kamar.
“Ibu selalu tahu yang
kumau. Mungkin,” bisiknya dalam hati.
***
Pintu kamar yang sedikit terbuka memberi celah pada
kesejukan yang dibawa udara masuk kedalamnya. Nampak jelas raut wajah lesu
Wulan yang sedang duduk di kursi di sebelah tempat tidurnya, di belakang sebuah
meja kayu dekat jendela yang berada sejajar dengan pintu kamarnya. Tubuhnya
begitu kurus karena pekerjaannya menuntut Wulan untuk tidak tidur di malam
hari. Hawa dingin sangat menusuk pagi itu. Tapi Wulan hanya mengenakan celana
jeans selutut dan t-shirt gombroh kesayangannya yang berwarna hitam dengan
bordiran tazmania kecil di bagian belakang bahu. Tak ada suara. Hanya semilir
hembusan angin pagi yang mengisi kamar Wulan kala itu.
Jemari
Wulan perlahan merangkak di atas meja kayu yang ada di hadapannya. Diraihnya
selembar foto hitam putih berukuran 3x4 yang terselip di antara buku-buku yang
tersusun rapi. Wulan bukan orang yang rajin memang. Tapi tak pernah sekali pun
dia membiarkan ruang pribadinya berantakan apalagi saat waktu tidur menjelang.
Wulan
tersenyum.
Diusapnya
foto itu perlahan. Dipandangnya sosok dalam foto itu kemudian. Sosok yang
begitu dikaguminya. Seseorang yang sangat dicintainya. Seseorang yang baginya
turut andil dalam mengobrak-abrik hidupnya.
Sedang
asyik memandang foto, Wulan dikagetkan dengan suara pintu yang diketuk dengan
kasar dari luar. “Lagi,” gumamnya. Digenggamnya foto itu dan bergegas menuju
pintu kamar.
***
Hari itu matahari
mulai meredup di balik gumpalan awan hitam yang telah membuatnya tertutup. Riuh
ramai dedaunan terdengar begitu merdu seiring angin yang begitu hebatnya
bertiup. Wulan bergegas masuk ke rumah dan melepas sepatu bututnya. Kamar
adalah tempat pertama yang dikunjunginya setiap sepulang ke rumah sebelum kamar
mandi dan meja makan. Bahkan kadang Wulan mengunci pintu kamarnya dan tak
pernah lagi memunculkan batang hidungnya sampai malam dan pagi bergantian.
Perlahan terdengar derai hujan meramaikan senja yang
menggelap itu. Wulan mulai mengangkat tubuhnya yang sejak pulang tadi tergolek lemas
di atas kasur. Kemudian berjalan ke arah jendela, menatap langit yang tak lagi
biru. Hujan sore itu terasa begitu menyejukkan. Bulir-bulir airnya yang jatuh
seakan turut menghanyutkannya dalam khayalan.
***
“Pelangi pelangi
alangkah indahmu, merah kuning hijau di langit yang biru ....”
“Wulan...!!”
“Iya, Bu.” teriak Wulan
dari halaman rumah.
“Cepat masuk! Hujannya
makin deras, nanti kamu bisa sakit,” seru ibu yang berdiri di depan pintu
sambil memandang anak kesayangannya.
“Tapi Wulan mau nunggu
pelanginya keluar dulu,” jawab Wulan yang masih asyik dengan hujan dan
nyanyiannya. Ibu hanya menatap Wulan, menunjukkan wajah marah tanpa mengucapkan
sepatah kata pun. Wulan tahu tatapan itu, tahu arti dari raut wajah itu. Ia
berlari menghampiri ibunya lalu mengangkat kedua tangannya sambil tersenyum.
Ibu menggendong Wulan ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya yang penuh
lumpur karena bermain hujan.
Hingga
waktu menjelang malam hujan tak kunjung reda. Di balik jendela kamar, Wulan
asyik memandang rintik-rintik hujan sambil duduk di pangkuan ibunya.
“Bu.”
“Iya, sayang.”
“Kalau hujannya sampai
malam begini, apa pelangi akan tetap muncul?”
Ibu tersenyum. “Tidak
sayang. Pelangi hanya akan muncul kalau ada sinar matahari.”
“Tapi malam juga kan
ada bulan, Bu.”
“Bulan itu temannya
bintang, bukan pelangi, dan bukan matahari. Mereka muncul berpasangan, tapi
pada waktunya. Ada kalanya bulan muncul tanpa bintang dan matahari tanpa
pelangi. Tapi meraka tetap memancarkan sinarnya yang indah untuk mewarnai siang
dan malam. Begitu pun kamu sayang.”
“Kok Wulan? Wulan gak
ngerti.”
“Hidup kadang
menempatkan kamu dalam kesendirian, tanpa ada teman, saudara, maupun keluarga.
Termasuk... tanpa ibu. Kita tak selalu bersama dengan orang-orang yang kita
sayang, yang biasa mendampingi kita. Terkadang kita dituntut untuk menghadapi
segala sesuatunya sendiri. Seperti kamu sedang ujian di sekolah, tak ada guru,
orang tua, atau pun teman yang bisa membantumu menyelesaikannya selain dirimu
sendiri. Tapi dengan belajar, kamu punya bekal yang cukup untuk
menyelesaikannya sendiri. Begitu pula kisah hidup kamu, cerita hidupmu, dan
orang-orang yang turut mengisinya akan terus berganti seiring berjalannya
waktu. Mereka tak bisa selalu menemanimu. Saat itulah kamu harus bisa
menjalaninya sendiri, dan tetap bersinar meski tak ada mereka di sisimu.”
“Aduh, Wulan bingung,”
gerutunya sambil menggaruk-garuk kepala.
Ibu tersenyum melihat
anak semata wayangnya “suatu saat kamu akan mengerti sayang”.
***
Wulan mengepalkan tangannya erat saat ketukan di pintu
rumahnya terdengar makin keras. Bayangan tentang seseorang dalam foto itu buyar
seketika. Wulan Panik. Wulan berencana melompat ke luar lewat jendela. Disambarnya
jaket kulit yang tergantung di belakang pintu kamarnya. Belum sempat jaket itu
dikenakannya, pintu kamar terbuka secara paksa dari luar. Wulan terperanjat.
Mematung seperti orang yang baru disambar petir. Segerombolan orang berseragam
lengkap dengan lencana berdiri dengan gagahnya di depan Wulan dan langsung
menerkamnya bak hewan buas yang tengah kelaparan.
“Saudara Wijaya Uli Kusuma
Lanang, Anda ditangkap atas kasus pembunuhan,” seru salah seorang pria
berseragam yang menunjukkan selembar kertas tepat di depan muka Wulan.
Wulan
tersenyum getir. Ditatapnya kembali sesosok manusia yang ada dalam foto yang
digenggamnya. Seorang perempuan anggun yang tersenyum ramah dengan aura keibuan
yang begitu bersahaja. Perempuan yang telah melahirkan dan membesarkan Wulan.
Perempuan yang selama ini selalu menjadi bayang-bayang hitam putih dalam hidup
Wulan. Perempuan yang menjadikan Wulan hidup dalam dunia yang baginya jauh dari
kewajaran. Perempuan yang bagi Wulan karena dialah hidupnya berantakan. Ibunya.
Orang yang paling dicintainya, yang tak pernah bisa menerima Wulan sebagai
dirinya.
Nafasnya terasa berat kali ini. Tak pernah
terbayang dalam benaknya harus menghabiskan sisa hidupnya dalam kesendirian di
ruang gelap dan sunyi. Tapi beban berat yang selama ini menggelayutinya seakan
luruh bersama terungkapnya semua yang selama ini tertutupi. Semua telah
berakhir. Tak perlu lagi bersembunyi sebagai Wulan. Tak ada lagi yang perlu
disembunyikan dari Wulan. Tak ada lagi hinaan pada Wulan. Tidak juga cemoohan
terhadap Wulan. Tak perlu lagi bersusah payah berdandan cantik untuk menarik
pelanggan di pinggir jalan sebagai Wulan. Tak perlu lagi mati-matian
menunjukkan sikap jantan untuk merebut hati sang pujaan dari orang yang
sebenarnya bukan Wulan.
“Inilah aku. Anak
lelakimu, Wijaya Uli Kusuma Lanang, yang sejak kecil kau panggil Wulan. Inilah
aku. Pria yang merenggut nyawamu demi harga diri yang kau jatuhkan. Andai dulu
tak kau perlakukan aku seperti wanita, mungkin takkan pernah aku jadi waria.
Andai kau bisa memandangku sebagai anak lelakimu, mungkin kau bisa jadi seorang
nenek yang kelak akan menggendong anak-anakku.”
kren amat cerpennya,,, boleh di copy ga ke blog ade?
BalasHapusSorry baru buka blog lagi del..
BalasHapusCopy aja gpp..